Ketika kita
berbicara mengenai seni pertunjukan, kita akan mengenal beberapa seni
pertunjukan seperti kethoprak, teater, monolog, parodi, dan masih banyak lagi.
Namun apakah kita pernah mendengar seni pertunjukan Srandul? Inilah yang
menjadi sebuah tanda tanya besar bagi kita karena seni pertunjukan ini tak
pernah terdengar oleh masyarakat, atau bahkan para pecinta seni pertunjukan di
tanah air. Mungkin karena seni pertunjukan ini adalah seni pertunjukan berbasic
kedaerahan atau apalah sehingga kurang diminati dan mendapat tempat diantara
beberapa seni pertunjukan lain yang sifatnya adalah makro.
Seni
pertunjukan srandul hampir sama seperti seni pertunjukan seperti jathilan atau
kuda kepang yang menyebar hampir diseluruh masyarakat jawa, jawa tengah, jawa
timur dan yogyakarta. Namun memang diakui seni pertunjukan ini tak terkenal
seperti kesenian kuda kepang karena hanya menyebar sekitar wilayah seperti Magelang,
Klaten, Temanggung, Boko Prambanan, Piyungan, Wonosari, dan Yogyakarta.
Persamaan dari seni pertunjukan ini adalah sama-sama berasal dari jawa dan
menggunakan keterampilan bermain peran yang baik supaya lebih menarik.
Perbedaan dari seni pertunjukan ini adalah terletak pada peran yang dimainkan
dalam panggung. Jathilan lebih menitik beratkan pada kesenian olah tubuh atau
menari, sedangkan srandul menitik beratkan pada dialog antar pemain.
Srandul
merupakan salah satu kesenian tradisional berbasic seni pertunjukan panggung
dimana kesenian ini menitik beratkan pada dialog antar pemain dengan cerita
yang telah ditentukan. Kesenian ini menggunakan elemen-elemen pendukung seperti
karawitan. Serasa hampir sama dengan kethoprak, namun perbedaan disini adalah
kethoprak mempunyai bagian tertentu dimana pemain karawitan tak akan bermain
peran atau sebaliknya, namun srandul tidak demikian. Srandul melibatkan pemain
karawitan dan peran untuk terjun dalam panggung, sehingga peran dan musik harus
dikuasai para pemain srandul.
Seni
pertunjukan ini kini mulai kurang mendapat tempat di hati para masyarakat,
khususnya masyarakat desa Jepitu, Kabupaten Gunung Kidul. Bagaimana tidak
ketika kesenian tersebut hanya dimainkan sekali dalam satu tahun sebagai rasa
syukur mereka terhadap hasil panen yang telah diberikan kepada Tuhan. Srandul
pun dimainkan dalam beberapa babak dan menghabiskan waktu kadang hingga sampai
sehari semalam, atau beberapa malam. Mungkin masalah inilah yang menjadi
penyebab srandul kurang mendapat tempat dari masyarakat. Disamping itu pula,
kesenian ini kurang mendapat tangan pemerintah, buktinya dengan ketika akan
diadakan pementasan, selalu saja ada kendala berhubungan dengan keuangan. Properti
yang digunakan pun dapat dikatakan tidak layak. Bagaimana tidak, ada irah-irahan anoman (tutup kepala untuk
hanoman) yang berusia hampir satu abad dan belum diganti sebagai akibat dari
tidak ada dana untuk membeli irah-irahan dengan
satu buah berkisar antara 300-500ribu. Sebagai ganti dari irah-irahan tersebut, mereka berinisiatif membuat dari kardus bekas
kemudian dibentuk mirip dengan irah-irahan.
Sungguh tragis
sebenarnya melihat keadaan yang sangat memprihatinkan tersebut. Terlebih lagi
ada sebuah masalah yang sangat signifikan yang harus benar-benar dipikirkan
bersama. Kesenian srandul merupakan kesenian kedaerahan dimana setiap kesenian
daerah mempunyai ketua adat yang mengetahui secara pasti kesenian tersebut dan
memimpin kesenian tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketua adat desa
tersebut sekarang sudah berusia lanjut. Beliau adalah satu-satunya orang yang
tau, mengerti dan paham akan kesenian srandul dari awal hingga akhir. Namun
dalam usia yang mulai tidak produktif tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa
srandul akan benar-benar punah kalau generasi muda tak ada yang tertarik untuk
melestarikan kesenian tersebut. Beliau sangat prihatin dengan generasi muda
yang sekarang tidak mencintai kebudayaan sendiri.
Generasi muda
lebih memilih mencintai dan mendalami kebudayaan pendatang yang sebenarnya
merusak. Tidak seperti srandul dimana dalam pertunjukan srandul sarat dengan
makna adiluhung dan ajaran moral yang sangat tak ternilai harganya. Dengan
keadaan seperti ini, akankah Srandul dapat lestari ditengah arus perkembagan
jaman yang semakin mendesak manusia menjadi manusia individual dan tidak peduli
dengan lingkungan. Beliau pun mengatakan kalaulah beliau meninggal dunia,
setidaknya ada salah satu yang dapat mewarisi pengetahuan tentang Srandul,
sehingga tidak hanya kesenian ini dapat tetap lestari, namun juga makna dari
sebuah kesenian Srandul ini dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.